Pages

Rabu, 04 Februari 2015

Menganalisis dan Mengkritisi Bagaimana Idealnya mengelola Media ditengah era pasar


Di era seperti sekarang ini, media bukan hanya menjadi alat komunikasi yang efektif, tapi juga telah menjadi industri yang menopang kehidupan berpolitik. Ujung-ujungnya hal ini juga berpengaruh pada sektor ekonomi, dimana ketika kapitalisme memenangkan persaingan, hegemoni atas media menjadi konsekuensi yang tak terelakkan.

Konsekuensi sebuah perusahaan media besar dapat memiliki atau menyebarkan media massa di banyak tempat adalah ideologi yang seragam diberlakukan bagi audiens. Tidak ada pendekatan spesifik bagi audiens di setiap daerah. Pendekatan ekonomi politik, melihat media massa dari siapa penguasa sumber-sumber produksi media massa, siapa pemegang rantai distribusi media massa, siapa yang menciptakan pola konsumsi masyarakat atas media massa dan komoditas lain sebagai efek kerja media.

Siapa penguasa sumber-sumber produksi media massa dapat dilihat antara lain dari kepemilikian media massa, kepemilikan rumah produksi penghasil acara-acara televisi. Kepemilikan media massa di Indonesia dapat juga dilihat seperti: Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Global TV, dan MNC TV (yang kemudian tergabung dalam MNC Group) yang dipimpin kepemilikannya oleh Harry Tanoesoedibjo. Metro TV, Media Indonesia, dimiliki oleh Surya Paloh. Majalah Cosmopolitan, Cosmo Girl, Hard Rock FM dimiliki oleh kelompok usaha yang dikendalikan pengusaha Adiguna Sutowo. ANTV, TV One dan Viva News dimiliki oleh Aburizal Bakrie. Trans TV, Trans 7, Detik.com (tergabung dalam CT Group) yang dimiliki oleh Chairul Tanjung.

Kenyataannya bahwa penguasa sumber media adalah pengusaha. Ideologi dari aktivitas pengusaha adalah menjual sesuatu untuk mendapatkan profit. Tanpa keuntungan perusahaan akan ditutup. Media massa adalah bisnis, pemilik media adalah pengusaha media. Pola konsumsi media massa juga dibentuk oleh kerjasama pengusaha media dan pengusaha lain.

Seperti beberapa ajang pencarian bakat yang kini menjamur di Indonesia serta bermacam-macam kuis interaktif televisi yang merupakan hasil kerjasama antara pengusaha media televisi dan pengusahajaringan seluler. Karena tujuan usaha adalah mendatangkan profit, maka isi siaran media massa digunakan untuk menciptakan pasar bagi perusahaan jaringan selular melalui penggunaan Short Message Service (SMS).

Hal tersebut merupakan salah satu gambaran bahwa fenomena Konglomerasi media sedang melanda Indonesia. Jika kita menilik lagi beberapa kepemilikan media diatas, pastinya kita sebagai orang awam akan berfikir dan menimbulkan sebuah pertanyaan: “Bagaimana mungkin media akan bersikap netral terhadap semua pihak jika pemiliknya adalah obyek yang harus dikontrol?”

Kebebasan pers di era transisi demokrasi hanya membuka katup botol yang membuat industrialisasi semakin berkembang pesat. Perselingkuhan logika ekonomi dan politik dalam industri media berujung pada konsentrasi kepemilikan. Mengutip Vincent Mosco dalam The Political Economy of Communication (2009) yang menggunakan istilah spasialisasi untuk menjelaskan gerak konglomerasi media, membedakannya dalam 2 bentuk yakni horizontal dan vertikal.

Spasialisasi horizontal muncul ketika pengusaha membeli atau menggabungkan berbagai jenis media dalam satu kontrol kepemilikan. Ciri tipikal integrasi ini adalah pembelian yang dilakukan pemilik media konvensional seperti suratkabar terhadap televisi maupun media online. Di Indonesia banyak contoh praktik spasialisasi horizontal. Misalnya Kompas Gramedia Group (KKG) yang sebelumnya fokus di media cetak melebarkan sayap mendirikan Kompas TV bekerjasama dengan stasiun televisi daerah.

Sementara spasialisasi vertikal berjalan ketika pengusaha media membeli atau menggabungkan perusahaan dari berbagai jenis industri untuk mendapatkan kontrol atas proses produksi. Hal ini tentu merupakan cara ampuh mengeruk keuntungan berlipat sekaligus mengurangi ketidakpastian dalam pasar yang mengganggu mekanisme produksi. Misalnya pengusaha media yang sekaligus memiliki perusahaan percetakaan maupun kertas. Spasialisasi vertikal di Indonesia terlihat misalnya dari kepemilikan Bakrie & Brothers Group yang tidak hanya sebatas bisnis di bidang media (TV One, ANTV, Vivanews) tetapi juga merentang di bidang telekomunikasi, agribisnis, sampai minyak dan gas.

Konglomerasi kepemilikan media seperti disebutkan di atas membawa potensi bahaya yang tidak bisa diremehkan. Pertama, arus informasi ke publik menjadi monolitik. Terpusatnya kepemilikan media tidak memenuhi kaidah keragaman kepemilikan (diversity of ownership) yang berakibat pada sedikitnya keberagaman isi (diversity of content). Kedua, terabaikannya agenda publik. Apa yang ditampilkan dalam media disesuaikan dengan alur kepentingannya pemilik modal. Ketiga, terjadi migrasi peran warga negara yang direduksi semata-mata menjadi konsumen. Sebagai konsumen, masyarakat tidak memiliki hak berpartisipasi dalam menentukan informasi yang diberitakan di media. Keempat, merosotnya mutu jurnalisme yang dipraktikan media. Mengutip pernyataan Bill Kovach dan Tom Rosensteil yang mengatakan bahwa di Amerika Serikat, perusahaan media mengurangi anggaran untuk melakukan liputan serius seperti liputan investigasi. Kekuatan pasar mendominasi logika produksi karena alokasi dana liputan dialihkan untuk strategi pemasaran. Kelima, konglomerasi membuat pemilik media menjadi tiran dalam dirinya sendiri. Mereka menutup akses serikat pekerja yang memperjuangkan hak berorganisasi dan kesejahteran pekerja media. Mayoritas perusahaan media di Indonesia tidak memiliki serikat pekerja. Dari sekitar 3.000 lebih perusahaan media di Indonesia, tidak lebih dari 35 media yang memiliki serikat pekerja.

Bukti yang tak bisa dipungkiri adalah keberpihakan media kepada modal dibandingkan memihak rakyat kebanyakan sebagaimana nilai-nilai demokrasi universal diusung dari oleh dan untuk rakyat. Padahal media selain sebagai pembentuk opini publik media juga memiliki fungsi strategis yang lain yaitu sebagai kontrol sosial. Sebagaimana fungsi kontrol sosial yang diembannya, selayaknya media mengawasi kinerja pemerintah dan kapital. Kritik-kritik media terhadap pemerintah diperlukan, agar pemerintah tak melakukan penyimpangan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang merampas hak-hak publik dan menyebabkan meluasnya kemiskinan struktural yang diproduksi oleh negara.

Di titik ini, sebagai seorang yang nantinya akan terjun langsung ke dunia Jurnalistik tentunya kita mengharapkan perubahan yang terjadi dalam Media di Indonesia. Melalui buku 9 elemen Jurnalisme karangan Bill Kovach, saya rasa seorang Jurnalis perlu bahkan wajib untuk mematuhi hal-hal yang menyangkut dengan kode etik Jurnalistik, sehingga suatu tulisan yang lahir dari tangan kita adalah sebuah produk berkualitas yang teruji keobjektivitas dan keakuratannya. 9 Elemen tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Kewajiban Jurnalis adalah berpihak pada kebenaran

2.      Loyalitas pada warga (publik)

3.      Esensi Jurnalis adalah disiplin verifikasi

4.      Para praktisi (jurnalis/wartawan) harus menjaga independensi dari objek liputannya.

5.      Jurnalis harus membuat dirinya sebagai pemantau independen kekuasaan

6.      Jurnalis harus memberi ruang bagi public untuk saling mengkritik dan menemukan  kompromi

7.      Jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan

8.      Jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan proporsional

9.      Jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya
Nah, 9 elemen diatas adalah bekal yang harus dimiliki oleh para Jurnalis untuk modal SDM yang berkualitas. Setelah itu, barulah kita menyusun suatu konsep dalam mengelola sebuah media independen namun tetap tidak kalah dalam daya saingnya di tengah era pasar sekarang ini. Salah satu media alternatif yang saya kira patut untuk dipertimbangkan untuk mengatasi solusi konglomerasi media di Indonesia ini adalah sebuah Media Kooperasi. 
Gagasan media kooperasi ini meskipun bukan merupakan hal baru, namun masih samar-samar terdengar di Indonesia. Secara sederhana, media kooperasi merupakan media yang dicirikan oleh kepemilikan bersama seperti koperasi. Seorang wartawan media kooperasi, Dave Boyle menjelaskan bahwa media kooperasi bisa memperoleh sistem kerja yang layak dan etika pemberitaan tanpa harus tunduk pada pemilik tak bermoral atau manajemen.
Dalam media kooperasi, audiens tidak hanya menjadi objek yang pasif dan sekadar menerima berita. Lebih dari itu, audiens dilibatkan sebagai subjek yang aktif untuk membiayai bahkan menulis berita-berita di media tersebut. Gagasan semacam ini muncul di beberapa negara dengan konsentrasi kepemilikan media yang jauh lebih dulu terjadi bila dibandingkan dengan di Indonesia.
Selain itu dalam media kooperasi, kepemimpinan serta kebijakan redaksional dirumuskan bersama. Sehingga keuntungan yang diperoleh pun digunakan untuk kesejahteraan anggota (prinsip koperasi). Dengan begitu, dipastikan tidak akan timbul akumulasi keuntungan dengan mengeksploitasi masyarakat karena masyarakat lah yang menjadi pemilik, pengelola, penulis sekaligus pembaca media itu sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar